Fanfiction · Fiksi

Second Chance

“Timo! Ada yang nyari!”

Timoteo yang tenggelam dalam setumpuk properti pemotretan hanya melambaikan tangan, tanda menolak untuk ditemui. Yang memanggil mendengus kesal. Ia pun tak berminat mengganggu kesibukan Timoteo, tapi masalahnya ini bukan kemauannya sendiri. Kalau bukan karena kedatangan pria jangkung bermata bulat yang namanya mendadak terkenal di kantor selama dua bulan ini, tentu saja Daewon akan mengatakan ‘Kim Timoteo sedang keluar, ada pesan?’.

“Timo! Ji Hansol nyariin lo!” pekik Daewon. 

“Hah?”

Timoteo akhirnya membalikkan badannya dan menghadapi Daewon dan Hansol. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali untuk memastikan yang dilihatnya. Daewon berdeham dan langsung meninggalkan mereka berdua. 

“So… Are you… And Jinye…”

“Hm. Lo udah beneran sehat kan?”

Hansol tersenyum dan mengangguk. Timoteo berbalik dan sibuk mencari sesuatu. Hansol hanya mengernyit dan baru mengerti saat Timoteo kembali menghampirinya dengan dua buah kursi plastik. 

“Kemaren baru kelar project pre-wedding, jadi berantakan gini. Duduk seadanya ya?” tawar Timoteo. Hansol terkekeh dan langsung menduduki kursi yang dibawakan Timoteo. 

“Lo bagian properti ya?” tanya Hansol. 

“Di sini campur-campur sih. Itu Daewon yang tadi nganterin lo ke sini kadang jaga front office, kadang bagian ngerekam. Kak Seyong malah kadang jadi pembawa acara kalo orang kita lagi kurang,” jawab Timoteo lancar. 

“Gue bisa daftar sini kagak?” celetuk Hansol disambut kekehan Timoteo. 

“Bagian promosi ya? Kan lumayan, untuk model yang munculnya cuma di majalah lo udah lebih dari sekedar terkenal. Jadi nggak perlu nih kita nyewa orang, gimana?”

Timoteo dan Hansol tertawa bersama. Sesaat mereka lupa Timoteo menangis saat menjenguknya di rumah sakit. Tentu saja bukan karena ia sedih Hansol terluka, toh Timoteo sendiri yang membuat Hansol teronggok di sana. 

“Jinye bilang lo cerita ke dia soal rumah sakit,” ujar Timoteo. Hansol mengangguk. 

“Tenang, bukan itu kok yang bikin dia datengin lo,”

“Tahu kok, mana nurut Jinye sama orang?”

Hansol tertawa lagi. Wajah Timoteo yang serius membuat topik ini terasa menyenangkan. 

“But why did you tell her? Kayanya gak ada untungnya buat lo,” tanya Timoteo penasaran. 

“Gue… Kaget aja lo bisa sejujur itu sama perasaan lo sendiri. Lo emang cuma cerita doang ke gue alasan lo nyerang manusia nggak berdosa ini… Well, okay, I’m a flirty,” Hansol langsung mengangkat kedua tangannya saat wajah Timoteo berubah bosan. “lo bikin gue inget sama mantan gue,” lanjutnya. 

“Mantan lo cowok ganteng?”

“I’m not a homophobic, I’m okay with them, but I still like girls,” Hansol sewot. “dan gue gak tau kenapa Jinye mau sama cowok seganteng lo,” tambahnya sarkastik. 

Timoteo tertawa renyah. Daewon tiba-tiba muncul dan menyodorkan sebotol air mineral untuk Hansol. Timoteo hampir protes sebelum Daewon mengancungkan telunjuk tepat di wajahnya. 

“Khusus buat tamu! Sana ambil sendiri kalo mau. Tadi nolak ketemu sekarang ketawa-ketawa, dasar labil!” omel Daewon. 

“Sensi amat sih lo? PMS?”

“Kesel liat lo balikan lagi sama mantan lo, puas?”

Timoteo tertawa lagi mengiringi langkah Daewon yang menjauh. Hansol menepuk bahunya, memohon penjelasan atas debat kecil dua laki-laki di hadapannya. Timoteo tetap tertawa sampai terbatuk-batuk. Hansol dengan berbaik hati menawarkan air pemberian Daewon dan Timoteo tanpa tedeng aling-aling langsung menegak seperempat isinya.

“Dulu Daewon duluan yang kenal Jinye, tapi gue yang jadian,” jelas Timoteo. 

Hansol hanya mengangguk. Sedikit tak menyangka alasan sesimpel itu bisa membawa tawa lebar untuk Timoteo si pendiam. 

“Eh tadi lo bilang gue mirip mantan lo itu gimana? Gue nggak cantik kan?” tanya Timoteo lagi. Giliran Hansol yang tertawa. 

“Bukan. Nggak ada mirip-miripnya sebenernya. Cuma…”

“Cuma?”

“Gue dulu sering main cewek, padahal gue udah punya pacar. Dia tahu, tapi nggak pernah protes terang-terangan. Dia cuma bilang gue harus jaga nama baik gue sendiri karena waktu itu gue emang baru debut jadi model. Kasihan orang tua gue katanya. Tapi gue cuek, nggak peduli, bodo amat,”

“Tapi lo sayang sama pacar lo kan?” potong Timoteo saat Hansol menarik napas. 

“Gobloknya gue baru sadar gue main cewek cuma pengen liat dia cemburu, tapi dia tenang aja ngadepin kelakuan gue. Sampai tiga tahun lalu, tanggal 4 Januari, dia tiba-tiba dateng ke apartemen gue dan minta putus. Gue sok cool, gue iyain aja. Bukannya marah, dia malah bilang ‘Semoga setelah aku keluar dari sini kamu tahu caranya nggak menyia-nyiakan orang yang sayang sama kamu.’,”

Timoteo terdiam. Ia menahan diri untuk tak bertanya. Mata bulat Hansol sedikit memerah dan ia memaksakan tawanya yang justru terasa getir.

“Gue terlalu gengsi untuk nahan dia dan minta maaf. Gue mikir besok aja baru gue temuin dia dan ceritain semua alasan kenapa kelakuan gue kayak gitu… Tapi lo tahu? Siapa yang ngira itu justru kalimat terakhir yang gue denger dari dia?” 

“Dia…” 

“Kecelakaan, meninggal di tempat. Gue yang dikabarin polisi pertama kali karena nomor gue ada di speed dialnya. Lucunya lagi gue dikabarin nggak nyampe semenit setelah gue ngirim pesan ke dia buat ngajakin ketemu. Goblok kan?”

Timoteo menutup mulut dan berusaha tak langsung menatap Hansol. Tentu saja ia sama sekali tak menyangka Hansol tiba-tiba datang ke kantornya dan menceritakan semua ini. Ia kira Hansol hanya sekedar ‘say hello’ kemudian pergi. 

“Waktu lo dateng ke rumah sakit dan nangis, gue sadar lo ngelakuin itu semua lebih karena lo takut Jinye tiba-tiba pergi. Gue sadar lo cuma orang baik yang takut kehilangan. Jinye juga orang baik, kalo gak baik mana tahan sampe setahun sama kelakuan lo?” Hansol ternyum melihat Timoteo sedikit terkejut. 

“Sampai hari ini pesan gue masih unread padahal ponsel dia ada di gue. Cuma itu yang bikin gue ngerasa dia masih ada. Unread, dia nggak sempet baca, simpel,”

“Gue… Nggak nyangka lo punya latar belakang kayak gini…” Timoteo masih berusaha keluar dari keterkejutannya. 

“Kalian berdua cuma butuh kesempatan kedua, gue gak mau ada yang nyesel seumur hidup kayak gue. Nggak enak. No one gonna like it, seriously. Dan kayaknya gue sukses kan?”

Tawa Hansol masih terasa getir, tapi ia terlihat lebih lepas sekarang. Timoteo hanya mampu menatap kagum padanya. Siapa sangka model terkenal sepertinya punya masa lalu menyedihkan? Dulu Timoteo mengira Hansol orang yang selalu bahagia sehingga memaafkan Timoteo jadi hal mudah untuknya. 

Ternyata alasannya menyedihkan. Tak mau ada yang hidup dalam penyesalan. 

Kenapa Hansol harus jadi tokoh yang menyebalkan sekaligus mengharukan? 

“Makasih ya, nggak tau gue harus ngerespon gimana,” ucap Timoteo tulus. Hansol mengangguk sambil terkekeh. 

“Tapi kesempatan kedua aja ya, kalo putus lagi gue ambil Jinye buat gue,” canda Hansol. 

Tentu Hansol berekspektasi Timoteo akan mengomelinya. Tapi Timoteo tak bisa memenuhi ekspektasinya. Pria itu justru menepuk bahunya dan tersenyum yakin. 

“Iya, cuma sampe kesempatan kedua. Gue sama Jinye gak bakal pisah lagi,” 

Hansol dan Timoteo tertawa seakan tak pernah ada masalah. Sedikit tak menyangka hanya dengan bercerita bisa membuat mereka dekat. 

Dan tentu saja, tak menyangka bisa menemukan sahabat. 

~DONE~

Tinggalkan komentar